Rabu, 21 Oktober 2009

China 60 tahun kedepan

Cina, 60 Tahun ke Depan

*I. Wibowo*
/*) Pengajar di Departemen Hubungan Internasional Fakultas Ilmu Sosial
dan Ilmu Politik UI, Ketua Centre for Chinese Studies Fakultas Ilmu
Pengetahuan Budaya UI/

SELAMA 30 tahun terakhir, pembuat kebijakan luar negeri Cina mengikuti
petuah Deng Xiaoping yang dirumuskan dalam empat kata: tao guang yan
hui. Terjemahan bebasnya: jangan pamer, jangan sok. Deng agaknya sudah
melihat bahwa Cina akan bangkit dan kebangkitan Cina dapat membuat
tetangga-tetanggany a, baik dekat maupun jauh, merasa ketakutan. Taiwan
paling pertama khawatir, lalu Jepang, Korea Selatan, dan menyusul
negara-negara di bagian tenggara Cina, seperti Vietnam, Filipina,
Malaysia, Singapura, dan Indonesia.

Kecemasan bahkan menyeberang ke Samudra Pasifik, sampai ke daratan
Amerika Serikat. Di lingkungan pengambil kebijakan Amerika, muncul
”China Threat Theory”. Teori ini sangat dipercayai kalangan hawkish,
tapi juga sempat menular ke masyarakat luas. Sebagai satu-satunya negara
adikuasa, semestinya Amerika Serikat tak perlu risau dengan ancaman Cina.

Tidak mengherankan, pada 2002, Cina mengeluarkan pernyataan bahwa
kebangkitan Cina tidak akan menimbulkan ancaman. Dua kata dipakai:
heping jueqi (bangkit dengan damai). Cina benar-benar ingin menangkis
pandangan bahwa kebangkitan ekonomi Cina akan menimbulkan keguncangan
pada tatanan internasional. Pada 2007, dalam Kongres Partai Komunis
ke-17, dikemukakan konsep hexie shejie (dunia yang harmonis). Konsep
heping jueqi sendiri diperbaiki menjadi heping fazhan.

Pada saat yang sama, Sekretaris Jenderal Partai, Hu Jintao, melontarkan
gagasan bahwa Cina harus mengembangkan soft power (ruan shi). Istilah
ini sebenarnya dipakai Joseph Nye—profesor Kennedy School of Government,
Harvard—untuk menjelaskan kondisi Amerika Serikat saat ini. Dengan soft
power, sebuah negara dapat membuat negara lain tunduk kepadanya karena
adanya rasa kagum dan tertarik. Amerika Serikat ”menaklukkan” dunia
dengan senjatanya (hard power) dan juga dengan soft power berupa
produk-produk kebudayaan yang digemari orang di seluruh dunia.
Ketertundukan dan kekaguman seperti itulah yang diimpikan oleh Cina akan
muncul di antara negara-negara di dunia.

Maka Cina sungguh giat mengadakan langkah-langkah mengembangkan soft
power-nya. Negara ini membuat siaran radio dan televisi setara dengan
BBC, CNN, dan Al-Jazeera. Saluran CCTV 4 (bahasa Mandarin) dan CCTV 9
(bahasa Inggris) kini dapat dijangkau di mana-mana. Cina bersemangat
mengirim misi kebudayaan ke seluruh dunia.

Langkah paling mengesankan adalah bantuan keuangan kepada negara-negara
yang sedang berkembang. Bantuan ini diberikan dalam berbagai
skema—disesuaikan dengan jenis dan tingkat kebutuhan negara tersebut. Di
Afrika dan beberapa negara di Asia Tenggara, bantuan diberikan dalam
bentuk bangunan, seperti rumah sakit, stadion olahraga, dan bendungan.
Bantuan Cina semakin menarik karena tak dikaitkan dengan syarat-syarat
berat seperti yang dituntut oleh negara-negara donor dari Eropa atau
Amerika.

*Soft power Cina di Indonesia*
Hubungan Indonesia-Cina tumbuh dan menjadi erat persis ketika Cina
sedang mengembangkan soft power-nya. Pada 2004, ketika pantai barat Aceh
disapu badai tsunami, Cina termasuk negara pertama yang membantu
Indonesia. Begitu pula ketika daerah Bantul, Yogyakarta, diguncang gempa
pada 2007. Berturut-turut pemerintah Cina memberikan bantuan kemanusiaan
kepada Indonesia, yang selama lima tahun terakhir terus-menerus dilanda
malapetaka alam.

Bantuan finansial paling besar yang diberikan oleh pemerintah Cina
kepada pemerintah Indonesia adalah pembangunan Jembatan Suramadu. Proyek
yang berjalan sejak 2003 ini mengalami beberapa kali kesulitan
pembiayaan, tapi pemerintah Cina tetap memberikan dukungan penuh,
sehingga jembatan itu selesai pada Juni 2009. Tidak diketahui persis
berapa besar sumbangan Cina—diperkirakan di kisaran US$ 800 juta atau
sekitar Rp 8 triliun. Bagi pemerintah Cina, pembangunan jembatan ini
merupakan simbol eratnya hubungan kedua negara dan sekaligus bukti
kepedulian Cina terhadap Indonesia.

Cina berusaha memperkenalkan diri kepada sebanyak mungkin orang
Indonesia. Urusan visa ke negeri itu dibuat sederhana dan tak
berbelit-belit, sehingga banyak turis Indonesia berkunjung ke sana.
Khusus untuk birokrasi, pemerintah Cina menyiapkan paket khusus. Setiap
tahun, lewat Konselor Ekonomi, pemerintah Cina mengundang sejumlah
pejabat untuk datang berkunjung.

Acara ini biasanya kombinasi antara seminar dan sightseeing. Ini belum
termasuk kunjungan anggota Dewan Perwakilan Rakyat dan pemimpin-pemimpin
partai. Pemerintah Cina percaya pepatah lama yang mengatakan ”bai ting
buru yi jian”. Artinya, seratus kali mendengar tidaklah sama dengan
sekali melihat! Semakin banyak orang Indonesia melihat kemajuan Cina,
semakin terasa pengaruhnya.

Respons masyarakat Indonesia terhadap soft power Cina juga positif.
Secara perlahan-lahan masyarakat kita menyukai produk kebudayaan Cina.
Lagu-lagu Cina kini dinyanyikan dalam pesta dan bilik-bilik karaoke.
Film-film Cina sudah lama disukai, terutama sinema Hong Kong bertema silat.

Film Cina nonkungfu juga diterima baik, terutama yang memenangi piala di
festival-festival internasional, antara lain Raise the Red Lantern,
Farewell to My Concubine, dan To Live. Pada 1999, kota-kota besar di
Indonesia pernah dilanda ”demam F4” melalui film melodrama yang
menampilkan bintang-bintang dari Taiwan itu.

Masyarakat Indonesia sedang mengalami semacam ”pembebasan” dalam segala
perihal yang terkait dengan kebudayaan Cina. Undang-undang dan peraturan
dari masa Orde Baru yang melarang ekspresi kebudayaan Cina telah
dibatalkan di masa pemerintahan Presiden Abdurrahman Wahid. Pembatalan
itu berlaku hingga kini.

Kian banyak orang dapat berbicara bahasa Mandarin dan berpakaian
cheongsam dengan bebas. Pementasan tari barongsai dan naga liong kini
dapat ditonton dengan bebas di tempat umum—dan bukan hanya pada tahun
baru Imlek. Pembukaan restoran, peresmian toko atau mal, bahkan kampanye
pemilihan kepala daerah atau pemilu diramaikan pula oleh tari barongsai
dan naga liong.

Yang paling menarik perhatian adalah bahasa Mandarin. Selama tiga
dekade, bahasa ini dilarang dipakai dan dipelajari. Ketika larangan
dicabut, bahasa Mandarin seakan-akan meledak. Di mana-mana orang
berbicara bahasa Mandarin. Tempat-tempat kursus didirikan di banyak kota
besar di Indonesia. Sejumlah universitas mendirikan jurusan bahasa
Mandarin. Sekolah-sekolah menengah memasukkan bahasa Mandarin ke
kurikulum mereka.

Padahal, selama masa Orde Baru, bahasa Mandarin hanya dapat dipelajari
di Universitas Indonesia. Itu pun dengan pengawasan. Di masa itu pula
setiap penumpang pesawat terbang harus melaporkan kepada pabean
sekiranya dia membawa barang bertulisan bahasa Mandarin.

Pemerintah Cina—secara kebetulan—tengah melancarkan program pengajaran
bahasa Mandarin ke seluruh dunia. Di banyak negara di dunia telah
didirikan ”Institut Konfusius” (Kongzi xueyuan). Kini kabarnya telah ada
sekitar 250 Institut Konfusius di 75 negara. Beberapa universitas di
Indonesia juga menyambut kehadiran Institut Konfusius, termasuk
Universitas Al-Azhar dan Universitas Brawijaya. Pemerintah Cina pun
menyediakan jalur lain agar pengajaran bahasa Mandarin makin luas
dipelajari, yaitu melalui Hanban, bekerja sama dengan Departemen
Pendidikan Nasional. Lewat jalur ini, sekolah-sekolah menengah
mendapatkan guru-guru penutur asli.

Sejauh mana soft power Cina merebak di Indonesia? Pertanyaan ini sulit
dijawab. Untuk sementara dapat dikatakan Cina dan kebudayaannya telah
diterima lagi di Indonesia. Kerja sama kedua pemerintah juga berjalan
tanpa hambatan. Indonesia-Cina telah bersepakat bekerja sama di bidang
energi (2002), yang disusul kerja sama di bidang pertahanan (2007). Pada
2005, kedua kepala negara menandatangani deklarasi ”Kemitraan Strategis”.

Sukses Cina di Indonesia juga berulang di tempat-tempat lain di dunia.
Banyak negara ingin merangkul dan dirangkul Cina. Namun, harus pula
dikatakan, soft power Cina masih perlu dilengkapi promosi di bidang
nilai-nilai. Pada akhirnya orang akan bertanya nilai-nilai kemanusiaan
apa yang hendak ditebarkan Cina sehingga negara-negara lain kagum dan
tertarik secara total.

Nilai demokrasi yang diperlihatkan Amerika Serikat terbukti menjadi daya
tarik tersendiri sehingga soft power Amerika sulit dibendung. Tapi orang
juga dibuat terkejut atas langkah-langkah keras Cina. Cina menggunakan
kekerasan untuk memadamkan kerusuhan di Tibet (2008) dan di Xinjiang
(2009). Orang seakan diingatkan pada hal-hal yang tidak bisa dikagumi di
Cina. Demikian pula perlakuan pemerintah Cina terhadap Dalai Lama yang
mengundang banyak kritik dan protes.

Soft power Cina sudah besar, tapi belum cukup besar. Supaya dunia yakin
negara itu tak mengandalkan hard power, Cina sebaiknya tak hanya
menyebarluaskan bahasa, tapi juga nilai-nilai kemanusiaan. Nilai-nilai
ini sudah ada akarnya dalam kebudayaan mereka. Soft power harus
dikembangkan bukan sebagai strategi diplomasi semata, melainkan juga
komitmen yang otentik. Mungkin ini pekerjaan rumah penting untuk Cina 60
tahun ke depan.

http://majalah. tempointeraktif. com/id/arsip/ 2009/10/19/KL/ mbm.20091019. KL131713.id. html

Tidak ada komentar: