Minggu, 18 Oktober 2009

Tanggapan Atas Kebijakan Pangan Global Amerika Serikat

Tanggapan Atas Kebijakan Pangan Global Amerika Serikat

Menanggapi tulisan Menlu AS, Hillary Rodham Clinton tentang lima prinsip kebijakan pemerintahan Obama berkaitan dengan Ketahanan Pangan Dunia, saya ingin memberikan beberapa tanggapan. Tanggapan saya ini diilhami dari keberadaan saya sebagai warga salah satu negara didunia yang terkenal agraris namun kehidupan petani didalamnya masih menderita seperti yang diilustrasikan oleh Clinton diawal tulisannya.

Pertama, pemerintahan Obama mengakui bahwa tidak ada satu model pendekatan apapun yang cocok untuk semua kalangan, oleh karena itu AS berusaha untuk bekerjasama dengan negara-negara mitra untuk menciptakan dan menerapkan sesuai dengan rencana mereka. Pada konteks ini, satu hal yang cukup bagus atas pengakuan negara adidaya tentang tidak ada satu kebijakan yang cocok untuk semua. Hal ini diluar kebiasaan yang terjadi dimana biasanya negara maju dan kaya cenderung memaksakan perspektif mereka dan menganggap keberhasilan mereka sebagai sebuah keniscayaan jika diikuti negara lain terutama negara dunia ketiga. Lihat saja resep pembangunan ekonomi yang banyak diikuti dan ditiru oleh negara-negara dikawasan Asia Timur dan Asia Tenggara yang mereka sebut dengan “The Asian Miracle” tapi akhirnya juga mengalami krisis tahun 1997. Sebenarnya ada satu pendekatan universal yang dapat diterapkan pada seluruh negara didunia yang memiliki produksi pertanian dan petani. Mengutip mendapat Colin Hines (2005) tentang mengubah globalisasi menjadi lokalisasi demokrasi. Salah satu pendekatan yang dapat dilakukan untuk memperkuat ketahanan pangan adalah dengan mengembalikan hakikat pertanian kepada pelakunya, petani. Sering kali kebijakan pertanian disusun dari atas, berdasarkan pengamatan pemerintah atau bahkan juga dorongan dan desakan ekonomi global melalui perdagangan bebas di WTO. Pada kondisi ini, petani sebagai pelaku utama justru berfungsi sebagai pelaksana kebijakan, bukan kelompok kepentingan utama dalam kebijakan tersebut. Sebuah pendekatan kebijakan yang lebih diarahkan kepada pelibatan petani secara optimal dalam penyusunan kebijakan pertanian dan pangan akan mengubah kondisi ini, karena petanilah yang benar-benar tahu dan mengalami proses pertanian dan pangan, sehingga masing-masing negara akan memiliki sebuah kebijakan yang bersumber kepada petani dan membawa kekhasan masing-masing yang membedakan dengan negara lain. Dan pada satu titik, semua petani didunia akan memiliki satu suara yang sama tentang pembangunan pangan jika mereka diberikan ruang yang cukup bebas untuk ikut menentukan kebijakan pertanian dan pangan.

Kedua, pemerintah AS menggalakkan investasi disegala hal mulai dari pembenihan sampai kepada perlindungan petani dan perempuan yang menjadi mayoritas dalam komunitas petani. Sungguh merupakan cita-cita yang mulia, namun kita juga harus mengkritisi kebijakan ini jika kemudian tujuan mulia ini bersifat diskriminatif, dalam artian perlindungan tersebut adalah kepada petani kaya di negara maju dan mengabaikan petani lainnya di Negara Dunia Ketiga. Sehingga justru melanggengkan jurang pemisah antara petani kaya dinegara kaya dan petani miskin dinegara miskin. Sementara itu, perlindungan terhadap perempuan akan lebih baik jika menggunakan formula Mohammad Yunus, peraih Nobel Perdamaian dengan Bank Grameen-nya. Sebuah pendekatan, sekali lagi dengan menggunakan pendekatan petani perempuan miskin dalam melihat pangan dan ekonominya. Yunus menganalogikan pendekatan ini seperti menggunakan mata cacing, bukan mata elang yang meskipun tajam namun hanya mampu melihat dari udara tentang apa yang terjadi ditanah. Tentu mata cacing akan lebih tahu daripada mata elang karena cacing tinggal ditanah.

Ketiga, fokus pada koordinasi global mulai dari tingkat negara, kawasan dan global dalam mengatasi permasalahan pangan dunia. Pendekatan Neo Funsionalisme nampaknya dapat dijadikan sebagai salah satu jalan. Joseph Nye (Dougherty dan Pfaltzgraff :1990) menyebutkan bahwa dalam menciptakan kerjasama internasional diperlukan empat syarat yaitu politisasi permasalahan, redistribusi keuntungan, redistribusi cakupan kerjasama dan eksternalisasi kerjasama. Pendapat ini diperkuat oleh Mohtar Mas’oed (1992) yang mengatakan bahwa dalam mengatasi permasalahan global diperlukan sinergi antarapemerintah, organisasi internasional antar pemerintah, organisasi internasional pemerintah (IGO), organisasi non pemerintah nasional (NGO), organisasi internasional non pemerintah (INGO), organisasi bisnis internasional dan individu. Dalam kerjasama dan sinergi ini akan tercipta sebuah sistem jaringan organisasi pangan masa depan yang mengutamakan pembebasan dari sistem pasar bebas dan pelibatan semua warga negara dalam menangani masalah pangan dunia.

Keempat, mendukung institusi multilateral yang memiliki jangkauan dan sumberdaya yang melebihi negara manapun. Permasalahannya adalah institusi seperti apa dan siapa saja yang berada dalam institusi tersebut. Pengalaman menunjukkan banyak institusi internasional dan multilateral dibentuk dengan tujuan yang mulia namun akhirnya hanya sebagai alat kepanjangan tangan dari negara-negara maju dan kaya. Jika institusi multilateral ini tetap mempertahankan tradisi lama dengan dominasi negara-negara maju dengan kekuatan loby ekonominya, maka yang muncul adalah pesimisme untuk turut membangun pertanian di negara berkembang. Mahbub Ul Haq menyarankan agar dibentuk sebuah Badan Pembangunan Dunia dibawah PBB yang mampu memberikan masukan tentang pembangunan yang berketahanan pangan.

Kelima, komitmen jangka panjang yang dapat dipertanggungjawabk an dengan menciptakan seperangkat pengawasan dan evaluasi sehingga masyarakat luas dapat melihat apa yang dilakukan AS. Sebagai seorang Menteri Luar Negeri, nampak poin kelima ini adalah sebuah diplomasi yang dilakukan oleh Clinton untuk “memberitahu” warga dunia tentang komitmen AS dalam mengatasi masalah pangan dunia. Hal yang perlu diperhatikan adalah jika memang AS memiliki komitmen pada masalah pangan secara global, AS sendiri juga seharusnya memberikan kesempatan kepada pihak luar AS untuk turut duduk bersama dalam proses evaluasi, sehingga kebijakan yang muncul memiliki wajah yang lebih internasional. Nation branding menjadi penting, sebagai pembungkus atau packaging dari serangkaian prinsip kebijakan AS untuk mendorong peningkatan soft power AS yang menurut Joseph Nye mulai mengalami kemunduran.

Lalu bagaimana dengan Indonesia? Saya lebih setuju dengan melakukan lokalisasi kebijakan pangan dan menempatkan produk pertanian yang ditujukan kepada pemenuhan kebutuhan dalam negeri dan jika tahap ini telah terlampaui barulah bisa berorientasi ekspor, bukan sebalinya. Selain itu, konsep memberdayakan petani tidak hanya pada pelaksana kebijakan namun juga pelibatan secara optimal dalam pengambilan kebijakan pertanian dan pangan. Meletakkan kembali sektor pertanian sebagai satu kekuatan Indonesia yang agraris sebagai satu kekuatan pangan dunia.. Mengutip pendapat Dr. Iskandar Andi Nuhung (2006), “Pertanian nasional harus mampu menyinari kehidupan bangsa Indonesia dan memberikan pencerahan kepada semua orang sehingga menjadi pusat perhatian dan harapan kedepan”

Tidak ada komentar: