Oleh: Prof. Dr. Ikrar Nusa Bhakti
Profesor Riset Bidang Intermestic Affairs LIPI
SETIAP Malaysia menggunakan tari atau lagu yang berasal dari Indonesia untuk iklan-iklan pariwisatanya, setiap kali pula sebagian pejabat dan masyarakat Indonesia marah. Pernyataan yang dikeluarkan pun hampir-hampir sama, “Malaysia mencuri kebudayaan kita,” “Klaim Malaysia tak bisa ditolerir,” “Kita perlu protes keras,”.
Atau bahkan sampai yang paling tidak masuk akal tapi mengundang senyum, “Ganyang Malaysia, Selamatkan Siti Nurhaliza.” Jika dulu kesenian reog ponorogo, lagu Rasa Sayange, kini yang dipersoalkan adalah tari pendet yang dalam khazanah kesenian Bali merupakan ”tari selamat datang”.
Tari ini dulu amat sakral dan yang paling awal dipelajari oleh mereka yang belajar tari Bali, sebelum anak-anak belajar tari yang lebih rumit seperti tari Panji Semirang, Tenun, Manuk (Cendrawasih), Margapati dan seterusnya. Ungkapan kemarahan itu apa patut kita utarakan kepada Malaysia setiap negeri jiran itu menggunakan kesenian kita untuk promosi pariwisatanya?
Coba kita tengok iklan maskapai penerbangan Singapore Airlines (SQ) yang menggunakan Kris (bahasa kita Keris) sebagai trade marknya. Gaya pelayanannya juga sesuai dengan makna agung Kris tersebut. Namun dalam majalahnya memang maskapai penerbangan itu menyatakan secara terus terang bahwa Kris adalah benda sakral yang merupakan bagian dari khasanah budaya Indonesia.
Iklan-iklan SQ juga banyak menonjolkan Bali dan wilayah Indonesia lain sebagai salah satu tujuan pariwisata yang paling eksotik di dunia. Apa yang dilakukan Singapore Airlines jauh lebih mendunia dibandingkan yang dilakukan oleh Badan Pesiaran/ Pelancongan Malaysia melalui “Visit Malaysia 2007 atau 2009”.
Apalagi dibandingkan dengan iklan pariwisata kita, yang banyak perwakilan kita di luar negeri pun tidak memiliki informasi dari Departemen Kebudayaan dan Pariwisata mengenai hal itu. Pernahkah kita berpikir bahwa kesenian Indonesia sesungguhnya tidak bersifat eksklusif dan hanya dapat dimiliki oleh orang Indonesia sendiri?
Mengapa kita tidak bangga jika kebudayaan kita semakin mondial? Tanpa teriak-teriak pun orang tahu bahwa tari Bali asalnya dari Indonesia. Saya teringat ketika pada 1988, saat ada Expo 88 di Brisbane dengan tema Leisure at the time of Technology, para mahasiswa asing juga mengadakan acara kesenian di kampus University of Queensland, St Lucia, di tepi Sungai Brisbane yang indah itu.
Saat Ketua Persatuan Pelajar Indonesia,Endang Sukara (kini Deputi Kebumian LIPI), menyatakan kesenian Indonesia antara lain adalah Mahabharata dan Ramayana, kontan seorang mahasiswa India berbisik pada saya, itu kan asalnya dari India. Saya hanya tersenyum seraya menjelaskan memang asalnya dari India, tapi kini sudah mendunia, banggalah Anda jadi orang India. Teman itu tidak jadi marah.
Elokkah kita marah-marah jika kita menyadari bahwa kebudayaan itu bersifat universal dan dapat dinikmati oleh siapa saja tanpa harus ribut soal hak cipta. Banggakah kita jika saat transit di Bandara Changi, Singapura, terdengar lagu-lagu Indonesia dari radio yang dipancarkan dari Batam? Tidakkah kita bangga saat kebudayaan Indonesia ternyata begitu merasuk ke Malaysia, bukan karena dibawa para TKI, melainkan melalui stasiun-stasiun TV dan radio se-Malaysia?
Betapa nikmatnya jika kita makan di Kuala Lumpur Tower sambil mendengarkan alunan lagu-lagu Indonesia. Pernahkah terpikirkan oleh kita bahwa sinetron Indonesia yang ditayangkan TV Malaysia ternyata dapat “menunda” sidang kabinet di Malaysia beberapa tahun lalu? Riak-riak kemarahan tampaknya lebih disebabkan oleh pengalaman sejarah dan politik masa lalu antara kita dan Malaysia—seperti Konfrontasi, Sipadan-Ligitan, dan Ambalat yang masih belum selesai—ketimbang persoalan hak cipta karya seni semata. Tapi marilah kita berpikir jernih mengenai apa makna kebudayaan dan kesenian. Seberapa pun banyak karya anak bangsa kita dicuri oleh Malaysia, ini tidak akan menghabisi khasanah budaya kita yang begitu beragam.
Malaysia hanya berani mengatakan “Malaysia is Truly Asia” untuk menggambarkan khasanah budaya Asia Selatan, Asia Timur Laut, dan Asia Tenggara.Tapi kebudayaan etnik Indonesia adalah yang terkaya di dunia dan tak akan lekang oleh masa. Namun kita juga harus menyadari, tidak semua budaya kita itu asli, dapat saja itu adalah turunan dari nenek moyang kita yang berasal dari Taiwan atau Asia Tenggara Daratan.
Tengok saja “Ayam Tangkap” makanan khas Aceh yang juga dapat kita santap di daerah Golden Triangle (Segitiga Emas) antara Thailand, Laos dan Myanmar. Tengok parade Ogohogoh di setiap menjelang acara Nyepi di Bali yang mewajibkan kita semua yang ada di Bali untuk “amati karya, amati lelungan, dan amati geni” (tidak boleh bekerja, tidak boleh bercakap-cakap atau jalan-jalan, dan tidak boleh menyalakan api).
Bandingkan itu dengan tiga hari upacara Nobuta di Jepang pada setiap musim panas. Nobuta berasal dari kata Nomutai yang kalau dipisah menjadi Nomu (tidur) dan Tai (ingin). Ini adalah setan atau iblis yang selalu datang pada musim panas agar petani Jepang mengantuk dan malas bekerja agar panen mereka gagal. Bentuk, gaya tarian Ogoh-ogoh dan Nobuta mirip sekali yang intinya mengusir setan.
Orang Asia Tenggara secara fisik dan kultur juga sulit dibedakan satu sama lain, kecuali jika mereka bicara. Gaya berpakaian perempuan desa di Asia Tenggara juga mirip, khususnya mereka yang belum terpenetrasi kebudayaan Barat. Jika kita berjalan-jalan di Desa Golden City, Myanmar, jangan heran jika banyak perempuan di sana menggunakan kain (Jawa: jarit) yang bermotifkan batik Jawa kuno.
Mereka juga amat bangga menggunakan “Indonesian motive batik” yang mereka dapatkan dari pasar-pasar di Bangkok, Thailand, atau yang dibarter para pedagang China dan Thailand ke Myanmar. Visi kita mengenai kebudayaan janganlah terlalu sempit. Jika kebudayaan Indonesia mendunia (mondial) lewat internet, website atau iklan pariwisata negeri jiran seperti Malaysia dan Singapura, harusnya kita berterima kasih kepada para pembuatnya.
Orang pasti akan mengunjungi Indonesia karena iklan-iklan itu. Mau menonton tarian Bali pastinya mereka ke Bali. Mau mendengarkan lagu Rasa Sayange (Malaysia: Rasa Sayang He) yang asli pasti orang ke Indonesia, demikian juga jika ingin menonton reog ponorogo dari Jawa Timur. Orang asing belajar membatik pun ke Jawa, bukan ke Kuala Lumpur, Selangor, atau Kedah.
Akankah kita selalu ribut dengan Malaysia soal “kebudayaan kita yang dicuri”itu? Mengapa kita mesti ribut jika orang lain menghargai dan mempromosikan budaya Indonesia di luar negeri? Betapa indahnya jika kita juga dapat mengiklankan secara mondial sendratari Ramayana kala bulan purnama menampakkan sinarnya yang begitu eksotik di pelataran Candi Prambanan.
Betapa indahnya pula jika tari yang sama, Rama dan Shinta, yang penuh keagungan cinta, diiklankan dan ditarikan secara massal menjelang Hari Raya Galungan di Bali. Kisah Rama dan Shinta tentunya bukan kisah “Romeo dan Juliet” yang menyedihkan itu, dan tentu pula bukan kisah cinta antara “Ksatria, Putri, dan Bintang Jatuh” dalam novel Supernova, seperti yang Anda baca huruf pertama artikel ini dari atas sampai bawah! (*)
Seputar Indonesia, Selasa, 25 Agustus 2009
Tidak ada komentar:
Posting Komentar